Mencari Ilmu Tidak Akan Berguna Jika…
“Mencari Ilmu Tidak Akan Berguna Jika…”
Akal adalah suatu hal yang menjadi tonjolan pada diri manusia. Dan oleh karenanya lah manusia dapat dibedakan dengan mahluk Allah yang lainnya. Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus mensyukuri nikmat akal dari Allah melalui perantara belajar. Karena dengan belajar, kita akan mendapatkan banyak ilmu, lalu kita akan mendapati faedah-faedah dari ilmu itu sendiri.
Barang siapa yang memahami kelebihan atau faedah ilmu, meskipun sudah tua dia tetap mencari ilmu. Karena belajar itu sepanjang hayat, artinya tidak terbatas ruang dan waktu. Jadi tidak ada alasan “saya sudah tua, tidak pantas untuk belajar”. Apalagi kita yang masih muda, kesungguhan dan kualitas dalam mencari ilmu itu harus maximal. Jangan sampai waktu muda kita terbuang sia-sia oleh hal yang tidak berfaedah. Kata imam al-Ghozali, 24 jam itu dibagi menjadi 3. Yaitu satu untuk kerja, satu untuk ibadah, dan satunya lagi untuk istirahat. Jadi tidak
ada alasan “saya sibuk bekerja, waktu saya tidak ada untuk belajar”. Karena kan sudah jelas bahwa semua waktu itu bukan untuk bekerja saja. Dan orang yang sibuk dengan harta tapi enggan mencari ilmu itu bukan karena hartanya, akan tetapi karena akhlaknya yang memang jelek, dia pun menjadi budaknya harta dan menjadi temannya kerakusan. Wong sayyidina Utsman yang notabene orang kaya raya saja masih mau mencari ilmu kok.
Kemudian dalam pandangan saya di era melanial ini ada suatu hal yang tabu di dalam dunia pendidikan. Banyak pelajar atau mahasiswa yang niatnya dalam mencari ilmu itu sudah salah. Mereka banyak menetapkan niat “supaya nanti saat lulus sekolah atau kuliah bisa enak mendapat kerja”. Hal itu menurut saya merupakan ketidakcocokan antara niat dengan tindakan. Karena pada dasarnya ilmu itu tingkatannya jauh diatas harta. Jadi hal tersebut lebih baik dirubah, karena bagi saya hal semacam itu secara tidak langsung yaa merendahkan ilmu. Contoh saja seperti ucapan Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib, “Ilmu lebih baik daripada harta, karena ilmu itu menjagamu sedangkan harta itu sebaliknya, kamu yang menjaganya. Lalu orang yang menumpuk harta jika mati tidak akan dikenang. Sedangkan orang berilmu jika mati kepribadiannya akan dikenang orang banyak”. Dari ucapan beliau saja sudah jelas bahwa ilmu itu derajatnya jauh lebih tinggi daripada harta.
Maka dari itu kita sebagai pelajar atau pun mahasiswa harus menata niat dengan baik dan benar dalam mencari ilmu. Jangan dulu dihubung-hubungkan dengan mobilitas kerja. Lebih baik kita focus dalam mencari ilmu itu dulu, nanti pasti harta akan mengikuti. Bukan malah dari awal meniatkan dalam mencari ilmu itu supaya mendapat harta setelah lulus, itu kliru. Dan hal tersebut akan membuat ketidakpuasan batin jika pada akhirnya kita tidak bisa mencapai tujuan dari niat kita. Contohnya; Fulan kuliah ke IAIN Ponorogo jurusan PAI dengan niat supaya nanti bisa menjadi PNS dengan gaji yang stabil dan pasti setiap bulan. Kemudian setelah lulus ternyata dia tidak lolos test CPNS. Lalu apa yang dia rasakan setelah itu? Sudah otomatis terjadi ketidakpuasan batin, dikarenakan tujuannya dalam niat awal kuliah itu tidak tercapai. Dan dari ketidakpuasan tersebut bisa jadi timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti keputus asaan yg berlebih, tidak ada semangat dalam mencari ilmu lagi, atau bahkan dia melakukan uji coba bunuh diri, na’udzubillah.
Pada point klimaksnya, saya tekankan lagi bahwa jangan lah kita mencari ilmu dengan terselubung niat mencari harta. Hal itu tidak pantas dan bisa menjadi potensial keterpurukan dalam hidup kita. Lebih baik dan memang seharusnya kita benar-benar memiliki niat pure mencari ilmu karena Allah, di niatkan ibadah di jalan Allah, di niatkan untuk menjalankan perintah rasulullah, dan lain sebagainya.
Setelah kita tau apa saja faedah ilmu, lalu bagaimana menata niat mencari ilmu dengan benar, selanjutnya kita harus tau kedudukan ilmu di dalam agama. Jadi Agama adalah sesuatu yang pasti di dalam akal, karena akal adalah dasarnya agama. Dan agama akan menata akal, lalu akhirnya akan meminimalisir kesalahan-kesalahan kita. Akhirnya akal akan tunduk kepada kebenaran, karena akal itu aslinya baik semua.
Kalau ada tanggapan “Kok seakan-akan akal itu lebih penting dari agama ya?”, jawabannya simple. Di dalam kitab Adabu ad-Dunya wa ad-Din disebutkan bahwa “Kemulyaan apapun yang tidak didukung ilmu, maka ia akan hina. Dan kemulyaan apapun yang tidak didukung akal, maka ia akan sesat.” Jadi logikanya kalau ada seseorang yang masih di dalam tingkatan syariat itu beribadah tanpa adanya akal, maka orang itu akan sembrono dalam pelaksanaannya. Lalu bagaimana titik terangnya? Kesimpulannya adalah, tidak ada yang lebih dominan atau lebih penting diantara akal dengan agama. Karena keduanya saling berhubungan satu sama lain.
Kemudian kita juga perlu mendalami yang namanya ilmu Tasawuf. Di dalam kitab Kifayatu al-Atsqiyaa’ dijelaskan, seumpama kita bekerja keras dan dari kerja tersebut kita mendapatkan rezeki atau uang yang banyak. Maka kita harus pasrah atau mengakui bahwa rezeki tersebut dari Allah, bukan dari usaha kita. Hal itu juga berlaku pada saat kita belajar atau pun mengajar. Sebisa mungkin kita hindari pengakuan bahwa kita pintar karena usaha kita melalui giat belajar misalnya. Atau pun pengakuan bahwa seorang murid bisa menjadi pintar itu karena usaha kita melalui kesungguhan dalam mengajar misalnya. Lha hal itu sebisa mungkin kita hindari, karena pada dasarnya semua itu berasal dari pemberian Allah. Kita bukan pemilik, kita itu hanya meneripa titipan dari Allah.
Dan jangan sekali-kali kita itu mempamerkan keilmuan kita kepada orang lain. Mengakui saja tidak boleh apalagi riya’. Karena ibadah itu hanya untuk Allah semata, bukan untuk dilihat baik oleh orang lain. Dan kita harus berhati-hati, jadi kita harus merasa dilihat oleh Allah, karena Allah maha tau. Contohnya ada seseorang yang ikut serta dalam test CPNS. Supaya dia lolos, dia jadi rajin beribadah dengan terselubung niat diluar karena Allah. Pada akhirnya saat pengumuman test, dia lolos. Tapi saat di akhirat nanti dia akan merasa kebingungan. Saya akan menggambarkan dalam sebuah dialog.
Orang Yang Riya’
“Gusti… Perasaan kulo dining dunyo niku remen ibadah, kok sakniki ganjaran kulo sekedik to gusti???”
Gusti Allah
“Terah bener kowe rajin ibadah wayah ing dunyo. Nanging ilingo… Ngibadahmu kuwi kerono opo? Pora yo pas kae ibadahmu kerono ben disawang apik karo wong liyan, kerono ben iso dadi PNS, lan sak piturute. Yowes to… Kowe tak wei iso dumadi PNS. Yen saiki arep njaluk ganjaran, lha nyapo wayah ing dunyo ngibadahmu ora kerono aku? Salahe sopo? Moso salahku?”.
Kira kira begitu gambaran kocaknya. Jadi pada intinya kita kalau beribadah dalam bentuk apapun itu, harus dengan niat karena Allah. Karena Allah itu yang punya semuanya. Kita cukup yakin saja, Allah pasti tau apa yang kita butuhkan saat di dunia. Jangan dicampuri dengan urusan dunia, apalagi ada niat riya’. Karena seorang hamba jika disaat dia beribadah di depan sesama manusia, dengan beribadah tidak di depan manusia itu berbeda, entah itu dalam khusyu’nya atau apapun itu, maka imannya kurang sempurna. Jadi gini, coro jowone, yen ono kawulo wayah ngibadah ing ngarepe menungso lan wayah ngibadah ing ngarepe kewan kuwi podo, kawulo kuwi nduweni iman kang sampurno.
Komentar
Posting Komentar